OPINI, ATENSI.CO- Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Gorontalo Utara pada 19 April 2025 menjadi isyarat semesta yang harus dibaca dengan alam berpikir yang sehat dan rasional.
Di sebut demikian, karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pelaksanakaan PSU dapat dimaknai sebagai keputusan yang tidak datang begitu saja, melainkan ada campur tangan Tuhan di sana, bahwa hasil kemenangan pada Pilkada 27 November 2024 lalu tidak mendapat restu dari semesta.
Bahkan keputusan PSU dari MK dapat dimaknai, sebagai bentuk kasih sayang Tuhan untuk masyarakat Gorut, bahwa terlalu banyak kesalahan fatal yang terungkap yang bakal membawa dampak tidak baik bagi masyarakat Gorut dalam 5 tahun ke depan. Itulah sebabnya ada keputusan PSU.
Itu artinya, keputusan MK yang memerintahkan pelaksanaan PSU, sejatinya dapat dimaknai oleh rakyat Gorut secara rasional dengan mengajukan sejumlah pertanyaan berikut.
Jika saja kemenangan pada Pilkada 27 November 2024 yang lalu itu direstui dan diridhai oleh Tuhan, untuk apa ada PSU?
Jika putusan PSU ada campur tangan dan ada gerakan Tuhan di sana, apakah memilih kembali Paslon yang terpilih lalu juga diridhai Tuhan?
Itulah 2 pertanyaan yang patut diajukan oleh segenap suara hati dan suara batin rakyat Gorut. Mengapa? PSU bukan sekadar perintah untuk memilih ulang, tapi juga perintah untuk merenung dan berpikir ulang tentang siapa yang sebenarnya direstui semesta untuk memimpin Gorontalo Utara dalam 5 tahun ke depan.
PSU juga membawa isyarat yang baik bagi Paslon Bercahaya, bahkan membawa berkah bagi rakyat Gorontalo Utara.
Paling tidak, isyarat yang hendak disampaikan melalui PSU ini, adalah Paslon Bercahaya tidak boleh putus asa, tidak boleh berhenti berjuang dan tetap berikhtiar dan berjuang.
PSU membawa Isyarat yang jelas, bahwa Paslon Bercahaya lah yang direstui oleh semesta untuk memimpin Gorut dalam 5 tahun ke depan.
Indikator ke arah itu, sangat jelas terlihat dari 2 fenomena Paslon Bercahaya yang selama ini seakan luput dari perhatian.
Pertama, fenomena dukungan dari kekuatan Golkar untuk Paslon Bercahaya, dimana Rusli Habibie sebagai mantan Bupati Gorontalo Utara definitif pertama, langsung bersedia menjadi Ketua Tim Pemenangan untuk Paslon Bercahaya.
Rusli Habibie adalah petarung, bahkan boleh disebut sebagai play maker politik yang sulit terkalahkan pada perhelatan politik dalam 15 tahun terakhir di Gorontalo.
Kedua, fenomena Paslon Bercahaya yang dalam Bahasa Gorontalo yang artinya “Tinelo”, menjadi isyarat yang jelas, bahwa untuk menempuh dan meniti jalan kebaikan, seseorang harus ada “Tinelo”, harus ada nur atau cahaya.Leluhur Gorontalo telah mewariskan paham itu.
Menariknya, dan ini mungkin luput dari perhatian masyarakat Gorut, bahwa kebercahayaan Paslon Bercahaya, salah satunya tercermin dari tanggal kelahiran Thariq Modanggu dan Nurjana Yusuf yang sama-sama lahir tanggal 17 Desember.
Dalam ilmu numerolgi, angka 17 adalah angka keramat yang melahirkan angka 8. Dalam kepercayaan masyarakat zaman dulu, angka 8 tidak hanya angka “mujur” atau keberuntungan, tapi juga dipercaya memiliki kekuatan supranatural
Dalam kepercayaan Islam angka 8 melambangkan 8 malaikat yang membawa singgasana Allah ke syurga (Jannah).
Dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, Angka 8 melambangkan keseimbangan antara dunia spiritual dan dunia material. Selanjutnya, dari segi bentuk, angka 8 yang tidak terputus melambangkan kelimpahan, kelancaran, dan keberuntungan yang terus mengalir.
Isyarat itu memiliki korelasi dengan nama atau “undte” yang disandang Paslon Bercahaya.
Nama Thariq memiliki makna simbolis karena diterjemahkan menjadi Bintang Fajar
Akar kata Thariq dapat ditelusuri kembali dalam Al-Quran, di mana ia disebutkan sebagai nama benda langit yang dikaitkan dengan “cahaya penuntun” yang berkorelasi dengan Nurjana yang juga memiliki padanan kata dengan “Bercahaya”.
Pada momentum memilih pemimpin, siapapun kita diajarkan untuk senantiasa “membaca”, yakni tidak hanya sekadar membaca yang tersurat tapi juga membaca yang “tersirat”. Itulah sebabnya surat pertama yang turun dalam Al Qur’an adalah Iqra, Iqra, Iqra yang artinya membaca, membaca dan membaca. Termasuk membaca yang tersirat dari adanya putusan MK yang memerintahkan PSU.
Suatu kompetisi diulang, karena ada yang salah, salah satunya jangan salah memilih lagi. (AM)