Opini  

Makna Dibalik Tradisi ‘Momaya’ Membangun Alikusu Tumbilotohe

Penulis : Arman Mohama  (Pemerhati Budaya)

OPINI- Jika disimak lebih dalam ada makna dan pesan yang tersimpan dibalik tradisi Momaya (mengabdi) dalam membangun  Alikusu Tumbilotohe di Rumah Jabatan (Yiladia)  Wuleya Lolipu (Camat) atau di Rumah Jabatan Bupati dan Gubernur.

Tradisi membangun Alikusu dari bahan kayu yang diambil di sekitar hutan di Kecamatan Paguat, Kabupaten Pohuwato masih tetap dipertahankan hingga saat ini.

Alikusu Tumbilotohe yang dibuat oleh para Kepala Desa dan pemangku adat di Rumah Dinas Camat Paguat. (Foto : Atensi.co) 

Salah satu alasan untuk memelihara tradisi Momaya (mengabdi) bagi kepala desa dan pemangku adat adalah pada kesempatan setiap momen Tumbilatohe sekali dalam setahun, mereka berkumpul, bergotong royong, bekerja membangun Alikusu di Yiladia Wuleya Lolipu (Camat).

Tradisi  Momaya akan sangat terasa maknanya jika bahan yang digunakan terbuat dari bahan kayu yang diambil dari alam serta segala tanaman sebagai pe lengkapnya. Seperti tanaman pisang, tebu, janur kuning, dan bunga tertentu.

Hal akan berbeda jika Alikusu  dibuat permanen dari besi atau kayu dengan rancangan yang permanen pula.

Momen Momaya ini mirip dengan tradisi Abdidalem di Keraton Raja-raja Jawa Kuno. Pemangku Adat tidak diberi upah tapi ada rasa kebanggan bagi mereka yang telah meluangkan waktu mengabdi bagi kemaslahatan negeri.

Jika prosesi adat berlangsung sempurna maka berpengaruh (impac) bagi kesuburan alam, rezeki berlimpah serta Pemimpin dan rakyatnya sejatera. Negeri damai dijauhkan dari malapetaka dan bencana.

Namun sebaliknya akan terjadi, jika elemen adat terabaikan maka murka sang pencipta bisa menimpa karena Rakyat/Umat kurang bersyukur atas nikmat (alam) yang selama setahun dinikmati.

Tradisi ini sebetulnya adalah akulturasi dari tradisi pra Islam (animisme) dengan nilai-nilai luhur agama Islam yang telah menjadi agama wajib dianut oleh etnis Gorontalo.

Tumbilatohe yang dilaksanakan di penghujung Ramadhan bermaksud pula untuk menerangi jalan menuju Mesjid karena saat itu di akhir bulan, langit mulai gelap.

Sementara perintah  Rasulullah SAW kepada umat Islam agar menghidupkan sepanjang malam di penghujung Ramadhan dengan ibadah.

Hari ini tradisi Tumbilatohe telah menjadi sebuah kebiasaan “Endemik” warga Gorontalo yang tetap terpelihara meskipun makna utama yang dikandungnya mulai redup tergilas modernisasi.

Kaum milenial kita menyikapi Tumbilatohe cendurung “Hedonis”.
Syaf-syaf  Sholat di Masjid mulai kosong tapi sebaliknya  umat hilir mudik di jalanan menyaksikan gemerlapnya lampu-lampu Tumbilatohe makin ramai dan gaduh.

Selamat menyaksikan Tumbilatohe dari rumah masing-masing dan jangan lupa pakai masker.

Paguat, 26 Ramadhan 1442 Hijriah/2021 Miladiah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *